Selasa, 12 Februari 2008

Sekilas Tentang Aspek Yuridis Dari TANDA TANGAN dan CAP JEMPOL

Oleh : Sujarwo, SH.

“Tanda tangan.......” pastilah anda pernah mendengar atau membaca kata-kata itu atau bahkan pernah pula melakukannya, karena hal ini hampir tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari entah untuk urusan pribadi maupun dalam pekerjaan, baik formal seperti seseorang harus membubuhkan tanda tangan dalam pembuatan KTP, SIM, Paspor, Surat Nikah, dll ataupun dalam urusan non formal seperti orang tua mengirim surat kepada anaknya, atau dalam pembuatan kwitansi penerimaan uang, nota belanja dan lainnya, semua diperlukan tanda tangan.
Untuk kegiatan-kegiatan yang ada di BRI, juga banyak sekali yang memerlukan tanda tangan seperti pembuatan bukti pembukuan diperlukan tanda tangan dari pejabat Maker, Checker dan Signer atau dalam pembuatan perjanjian kredit diperlukan tanda tangan dari nasabah. Dan juga dalam pembuatan surat dinas, surat edaran, surat keputusan, surat tagihan, nota, facsimile, telek, semuanya diperlukan tanda tangan dari pejabat yang diberikan wewenang untuk itu.
Kata tanda tangan memang sederhana, dan membubuhkan tanda tangan juga suatu yang sangat mudah (bagi orang yang melek huruf). Tanda tangan juga bukan hanya tugas dari seorang pejabat yang diberikan wewenang untuk bertandatangan mewakili BRI saja, akan tetapi seluruh pekerja BRI pasti tahu dan pernah melakukan tanda tangan. Namun demikian apabila ditanya difinisi dari tanda tangan, biasanya seseorang akan menjadi bingung dan kalaupun bisa menjawab, tetapi jawabannya beraneka ragam.
Mengingat bahwa tanda tangan sangat penting dalam kegiatan yang berhubungan dengan BRI maupun kepentingan pribadi, maka tidaklah berkelebihan jika penulis mencoba menyajikan pembahasan mengenai tanda tangan dan cap jempol.

DEFINISI TANDA TANGAN
Penulis belum pernah menjumpai definisi secara tegas arti dari tanda tangan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka) juga tidak memberikan pengertian yang pasti. Begitu juga dalam kamus hukum tidak ada satupun yang mendifinisikan tanda tangan secara tegas.
Menurut Prof. Pitlo menuliskan bahwa “MENANDATANGANI” adalah mencantumkan diatas bahan yang memuat akta itu tanda-tanda huruf yang diperbuat dengan tulisan tangan dari sipenandatangan yang mengindividualisir sipenandatangan”. Yang perlu digaris bawahi dari difinisi menurut Prof. Pitlo adalah bahwa tanda tangan tersebut mampu meng-individualisir sipenandatangan dalam batas tertentu.
Jadi menurut penulis dapat disimpulkan bahwa tanda tangan adalah pencantuman tanda tanda huruf sebagai identitas perorangan penandatangan dalam batas tertentu dengan tujuan untuk memberi ciri-ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta sehingga akta tersebut dapat diidentifikasi dari tanda tangannya.
APAKAH TANDA TANGAN HARUS BISA DIBACA
Belum ada satu undang-undang pun yang mengharuskan bahwa tanda tangan itu harus dapat dibaca, namun dalam praktek sehari-hari justru tanda tangan itu sering tidak dapat dibaca bahkan ada juga yang menggunakan huruf arab ataupun hanya sekedar coretan-coretan.
Untuk mengatasi keraguan dan mengetahui siapakah yang mencantumkan suatu tanda tangan, biasanya dibawah tanda tangan itu baik oleh sipenandatangan sendiri ataupun hal tersebut sudah dipersayaratkan dicantumkan pula nama jelas dari sipenandatangan.
Adalah merupakan keharusan bahwa tanda tangan tersebut dilakukan sendiri oleh sipenandatangan dan bukan berasal dari orang lain, walaupun pencantuman oleh orang lain itu adalah atas persetujuan dan diketahui yang bersangkutan.

BEBERAPA PENGERTIAN YANG TERKAIT DENGAN TANDA TANGAN
Sebelum membahas lebih jauh tentang tanda tangan, berikut ini perlu kiranya dijelaskan beberapa istilah yang terkait dengan pembahasan selanjutnya yaitu pengertian dari:

Akta adalah : Tulisan-tulisan mengenai hubungan hukum yang dibuat dengan tujuan akan dijadikan sebagai alat bukti dan ditandatangani
Akta otentik adalah : “Akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang diperbuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dipebuat” (pasal 1868 KUH Perdata)Contoh: Akta Jual Beli, APHT, SKMHT, dll.
Akta dibawah tangan adalah: “Sebagai tulisan-tulisan dibawah-tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani dibawahtangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum” (psl. 1874 ayat 1 KUH Perdata).Contoh: SPH SH-03/Kupedes, Kretap, Kresun dll

Dengan demikian dapat disimpulkan salah satu syarat adanya akta adalah harus ada tanda tangan pada tulisan-tulisan tertentu, sehingga dengan demikian orang yang tidak dapat atau tidak pandai membuat tanda tangan tidak mungkin membuat atau mengeluarkan suatu akta. Dan cap ibu jari (cap jempol) dalam satu akta yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dapat menandatangani karena yang bersangkutan buta huruf atau berhalangan untuk menandatangi, tidak ada manfaatnya karena cap ibu jari (cap jempol) bukanlah merupakan tanda-tanda huruf, kecuali dilakukan dengan cara yang telah diatur oleh Undang-undang.
BAGAIMANA KALAU SESEORANG TIDAK DAPAT TANDA TANGAN
Seseorang yang tidak dapat melakukan tanda tangan biasanya diganti dengan cap ibu jari (cap jempol). Hal ini tidak akan ada pengaruhnya apabila yang dibubuhi cap ibu jari (cap jempol) itu adalah surat-surat biasa yang nantinya tidak akan digunakan sebagai suatu alat bukti. Akan tetapi apabila hal tersebut misalnya suatu akta baik itu akta otentik ataupun akta di bawah tangan yang dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti, maka hal ini akan menjadi lain.
Tulisan-tulisan yang tidak ditandatangani dapat diterima sebagai akta dibawah tangan apabila tulisan-tulisan tersebut dibubuhi jap ibu jari (cap jempol) dan dilakukan dihadapan seorang pejabat umum yang diberi wewenang oleh undang-undang. Hal tersebut sesuai dengan 1874 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berbunyi:

“Dengan penandatanganan sepucuk tulisan dibawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seseorang notaris atu pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, dari mana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pegawai tadi”.

Jadi pasal ini telah memberikan kelonggaran kepada orang yang tidak bisa tanda tangan, dengan campur tangan dari pejabat umum yang diberi wewenang oleh Undang-undang. Namun campur tangan pejabat umum tersebut hanya sebatas menyaksikan pembubuhan cap jempol dan menjelaskan dengan cara membacakan isi dari akta dan tidak membuat bentuk maupun menentukan kalimat-kalimatnya sehingga tidak dapat merubah akta dibawah tangan tersebut menjadi akta otentik. Kegiatan yang demikian itulah dikenal dengan istilah Legalisasi. Jadi dengan kata lain bahwa semua akta dibawah tangan yang hanya dibubuhi cap jempol maka untuk memperkuat pembuktian di depan hakim haruslah dilagalisasi oleh pejabat umum yang berwenang.
Walaupun akta dibawah tangan yang di legalisasi tidak dapat mengubah status akta dibawah tangan menjadi akta otentik, akan tetapi dengan adanya legasisasi tersebut para pihak yang membubuhkan cap jempol tidak dapat lagi menyangkal atau mengingkari keabsahan cap jempol dan isi akta itu karena seorang pejabat yang berwenang untuk itu telah menyaksikan dan membacakan isi akta sebelum para pihak membubuhkan cap jempol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akta dibawah tangan yang dilegalisir mempunyai kekuatan hukum dalam pembuktian selayaknya akta otentik baik pembuktian materiil, formil dan pembuktian didepan hakim.

SIAPAKAH PEJABAT UMUM ITU DAN BAGAIMANA TERHADAP AKTA BRI?
( Nantikan tulisan berikutnya....... )

*adalah Instruktur Sendik BRI Yogyakarta